Kita Harus Peduli dengan Aksesibilitas

Kita Harus Peduli dengan Aksesibilitas
Jalur pejalan kaki dengan blok pemandu | Foto oleh Eren Li disadur dari Pexels.com

Satu dari dua belas, atau 8% pria, dan 1 dari 200 wanita di dunia mengalami defisiensi penglihatan warna, kondisi yang lebih dikenal sebagai buta warna. Diperkirakan defisiensi penglihatan warna dialami oleh sekitar 300 juta orang di dunia. Jumlah yang sangat banyak, bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia.

Pada tahun 2016, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi tak mengikat yang menyatakan, "hak-hak asasi yang berlaku di luar jaringan juga harus berlaku di dalam jaringan". Implikasi dari resolusi tersebut, rintangan terhadap akses Internet dapat diartikan mencederai hak asasi manusia, sebuah pernyataan yang walaupun tak mengikat tetapi tetap substansial. Kita semua selayaknya punya akses yang sama terhadap kesempatan dan layanan tanpa memandang kemampuan masing-masing, termasuk dalam dunia digital.

Teknologi Web, juga banyak platform antarmuka lain, sesungguhnya didesain untuk menjadi platform yang inklusif dan aksesibel. Namun, kelalaian dalam memperhatikan aspek aksesibilitas, baik secara sadar maupun tidak, bisa menghasilkan rintangan bagi pengguna dengan disabilitas untuk mendapatkan layanan digital.

Apa itu Aksesibilitas?

Aksesibilitas atau accessibility (a11y) adalah praktik-praktik membangun produk dan layanan yang memastikan sebanyak mungkin orang dapat mengaksesnya, terlepas kemampuan atau ketidakmampuannya. Dengan menghadirkan aksesibilitas, penyandang disabilitas sekalipun dapat memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses produk dan layanan yang kita bangun.

Aksesibilitas menaruh perhatian utama pada penyandang disabilitas, karena desain layanan yang mengakomodasi penyandang disabilitas manfaatnya akan dirasakan semua orang. Analogi dengan pembangunan infrastruktur fisik sangat berguna untuk mengilustrasikan prinsip ini: misalnya, ramp untuk pengguna kursi roda, yang pada akhirnya dapat juga digunakan oleh pengguna stroller, atau pembawa koper yang berat; Contoh lain, jalur pemandu atau guiding blocks di peron kereta yang ditujukan sebagai pemandu jalan penyadang kebutaan dapat digunakan sebagai indikator batas aman bagi orang lainnya; Toilet aksesibel yang dapat digunakan baik oleh penyandang disabilitas motorik maupun oleh pengguna lanjut usia.

Prinsip yang sama berlaku juga dalam membangun layanan digital, layanan digital yang dibangun dengan memperhatikan akomodasi penyandang disabilitas akan menguntungkan pengguna lainnya juga. Misalnya, laman web yang dibangun dengan memperhatikan kaidah-kaidah semantik HTML akan memudahkan semua pengguna dalam menavigasi dan memahami kontennya.

Sebagaimana pembangunan infrastruktur fisik, aksesibilitas layanan digital memerlukan investasi yang tidak jarang signifikan. Pun begitu, investasi dalam aksesibilitas memiliki manfaat yang tidak kalah signifikan.

Mengapa Aksesibilitas Penting

Aksesibilitas dan disabilitas adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. WHO memperkirakan terdapat 1.3 miliar orang di dunia mengidap suatu bentuk disabilitas. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 28 juta penyandang disabilitas, atau sekitar 10,4% dari populasi.

Klasifikasi disabilitas sangat luas. Disabilitas bisa bersifat kongenital atau didapat sejak lahir, seperti keterbatasan penglihatan warna; atau didapat semasa hidup, misalnya berkurangnya kemampuan mendengar seiring lanjutnya usia. Disabilitas juga bisa bersifat permanen atau sementara; contoh disabilitas sementara adalah cedera pada anggota gerak tubuh. Selain keterbatasan fisik, disabilitas kognitif, kesehatan mental, kemampuan bicara dan berkomunikasi, sampai degenerasi fungsi tubuh akibat usia lanjut juga termasuk disabilitas.

Sebagai ilustrasi, mari berkaca terhadap Jepang. Jepang memiliki demografi yang menua - pada 2023 sekitar 30% populasinya berusia 65 tahun ke atas. Lebih lanjut, penetrasi penggunaan Internet pada kelompok usia 80 tahun ke atas mencapai 36.4%. Sejalan dengan fakta tersebut, dalam sebuah pertemuan dengan spesialis aksesibilitas Apple yang dihadiri penulis, mereka mengungkapkan bahwa salah satu fitur aksesibilitas yang paling banyak diminta adalah perbesaran (zoom) teks. Pelajaran yang sama agaknya cocok diaplikasikan di manapun, seiring dengan pergeseran usia generasi-generasi terkoneksi dengan Internet menjadi semakin menua.

Disabilitas adalah bagian dari menjadi manusia. Menghadirkan aksesibilitas dan mengakomodasi pengguna dengan disabilitas adalah hal yang benar untuk dilakukan secara moral. Melakukan hal sebaliknya berarti tindakan diskriminatif, tidak seharusnya disabilitas menjadi penghalang akses terhadap layanan, baik dalam dunia fisik maupun digital. Bahkan, di berbagai belahan dunia nilai itu ditegakkan dengan regulasi hukum yang mengikat.

Regulasi dan Risiko Hukum yang Mengikutinya

Uni Eropa memiliki legislasi European Accessibility Act (EAA) yang diratifikasi pada tahun 2019, dan akan mulai berlaku pada Juni 2025. Legislasi itu mencakup berbagai layanan digital, mulai dari situs web, aplikasi mobile, layanan perbankan daring, layanan media audio-visual, sampai e-book dan layanan transportasi publik. Intinya, legislasi itu mengatur standar aksesibilitas layanan-layanan digital tersebut dan menetapkan bahwa ketidakpatuhan terhadap standar tersebut dapat diganjar dengan hukuman.

Di Amerika Serikat, terdapat dua legislasi terkait aksesibilitas: Americans with Disability Act (ADA), dan Section 508 dari Rehabilitation Act. ADA adalah undang-undang dengan cakupan yang luas, yaitu melarang diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam ruang publik. ADA tidak secara eksplisit mencantumkan layanan digital, namun sudah banyak preseden dari persidangan yang menggunakan ADA untuk kasus diskriminasi pada layanan digital.

Salah satu kasus terkenal yang menjadi preseden jurisdiksi ADA dalam layanan digital adalah Domino’s Pizza, LLC v. Robles. Pada tahun 2016, Guillermo Robles menuntut Domino's Pizza atas layanan pemesanan melalui situs web dan aplikasi mobile-nya yang tidak aksesibel. Robles berargumen bahwa layanan pesanan daring adalah perpanjangan tangan dari layanan restoran fisik Domino's Pizza, sehingga ADA berlaku untuknya. Domino's berargumen bahwa ADA tidak berlaku untuk situs web karena ADA tidak mencantumkan standar teknis untuk dipenuhi. Awalnya pengadilan daerah mengabulkan argumen Domino's, namun pengadilan banding di Ninth Circuit membatalkan putusan tersebut dan memenangkan tuntutan Robles. Kasus ini menjadi preseden penting bagi aksesibilitas digital di Amerika Serikat, karena putusan pengadilan mengimplikasikan bahwa ADA berlaku juga untuk produk digital.

Sementara itu, Section 508 mencakup institusi-institusi federal dan kontraktornya. Perbedaannya, Section 508 secara eksplisit mencantumkan Web Content Accessibility Guideline (WCAG) versi 2.00 level AA sebagai standar untuk dipatuhi. Pelanggaran terhadap Section 508 dapat mengakibatkan sanksi administrasi dan sanksi pembiayaan bagi kontraktor.

Selain Uni Eropa dan Amerika Serikat, banyak negara lain memiliki regulasi serupa. Misalnya saja Kanada, Britania Raya, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan banyak negara lainnya. Trennya kesadaran terhadap aksesibilitas semakin meningkat di seluruh dunia, dan akan ada semakin banyak negara yang mencanangkan regulasi aksesibilitasnya sendiri. Satu pola yang cukup konsisten adalah regulasi-regulasi tersebut banyak merujuk kepada WCAG untuk asesmen aksesibilitas serta kepatuhan terhadap regulasinya.


Kesimpulannya, yang pertama dan terutama adalah menghadirkan aksesibilitas dan layanan yang inklusif adalah hal yang benar untuk dilakukan. Kemudian, aksesibilitas dapat membantu kita memperluas jangkauan pengguna kita - selain penyandang disabilitas, kita juga bisa menjangkau demografi pengguna yang menua. Terakhir dan paling nyata, adalah menghindari risiko hukum akibat menjalankan layanan yang diskriminatif. Sudah sepatutnya kita menaruh perhatian lebih terhadap aksesibilitas, demi mewujudkan akses dunia digital yang inklusif untuk semua.

Mari kita bahas aspek teknis menghadirkan aksesibilitas pada kesempatan selanjutnya!


Referensi dan Bacaan Lanjutan


Post Script: Catatan Personal Penulis tentang Aksesibilitas

Terdapat beberapa pemantik yang menginspirasi penulis untuk mempelajari dan menekuni aksesibilitas dalam kapasitas penulis sebagai software engineer.

Yang pertama, proses lamaran penulis ke suatu perusahaan global yang gagal di tahap lanjut akibat ketidaktahuan akan konsep aksesibilitas. Ini menjadi awal perkenalan penulis dengan konsep aksesibilitas secara komprehensif - sebelumnya hanya berkutat di teknik-teknik sporadis.

Kemudian, beberapa tahun lalu penulis mendapati bahwa almarhum kakek penulis, yang kala itu sudah berusia lebih dari 80 tahun, diwajibkan untuk mendatangi kantor pensiun untuk melapor. Jika tidak, maka dana pensiunnya - yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama - akan ditahan dan tidak diteruskan. Usut punya usut, rupanya wajib lapor itu diterapkan untuk menanggulangi kecurangan di mana penerima manfaat sudah meninggal dunia tetapi manfaat pensiunnya masih ditarik. Dengan wajib lapor, penerima manfaat membuktikan bahwa manfaat pensiunnya masih sah.

Kadang dalam hujan, kadang dalam terik panas, kakek penulis yang untuk jalan kaki saja sudah kesulitan dan memerlukan tongkat, harus datang melapor. Dia pun tidak sendiri, ada banyak rekan-rekan penerima manfaat seusianya yang juga datang melapor dan harus mengantre di tenda yang disediakan di luar kantor tersebut. Penulis mengkritik dengan keras sistem tersebut, yang didesain tanpa mempertimbangkan bahwa penggunanya banyak yang berusia sangat lanjut. Begitulah jika suatu sistem, dalam kasus ini proses luar jaringan, didesain tanpa empati, apalagi mengindahkan aksesibilitas.

Selang beberapa tahun, sistem "otentikasi" tersebut dimodernisasi menjadi melalui aplikasi. Kali ini penulis menyaksikan almarhum ayah penulis diwajibkan melapor pada aplikasi tersebut setiap bulan. Cara sistem untuk melakukan otentikasi adalah dengan memberikan serangkaian instruksi sambil merekam wajah penggunanya, untuk memastikan penerima manfaatnya masih ada.

Salah satu instruksinya adalah berkedip. Ayah penulis yang kala itu sudah berusia 70 tahun lebih dan mengidap stroke, kesulitan bahkan untuk membuka mata. Alhasil, setiap bulan proses otentikasi tersebut akan memakan waktu berjam-jam di depan layar gawai - sebuah proses yang menimbulkan stres dan frustrasi bagi penggunanya beserta keluarganya. Dua kejadian tersebut membuka mata penulis bahwa aksesibilitas bukan semata implementasi teknologi, melainkan pada intinya adalah empati terhadap sesama manusia.